Pagi itu, kubuka mata
sayuku dari perjalanan semu di dunia mimpi. Masih terngiang tak percaya
pada badai yang terjadi kemarin. Jika punya kuasa melipat jarak dan
waktu, aku ingin sejenak datang menemuimu setahun lalu. "aku
menemukanmu dulu" dan yakinlah bahwa sebutir peluru takkan mampu
membuat bulan jatuh.
Aku berjalan menyusuri rumahku sendiri,
suasana pagi yang masih tetap sama dari rentan waktu ke waktu. Masa
kecilku pun, mungkin aku berlarian di lorong tua ini ya. Hah, entahlah.
Memori masa itu pun mulai memudar dari otakku. Otak yang makin lama
terpenuhi memori-memori baru. Makin sulit aku menata, memilih dan
memilah, menempatkan mereka di otakku.
Ternyata demamku kemarin belum sembuh benar, hingga ku bernostalgia seperti itu. Tak seperti biasanya.
Aku
melewati ruang tengah dan kuliat televisi sudah bangun mendahuluiku.
Pagi benar ia bangun, kira-kira siapa ya yang membangunkannya. Pikirku.
Tapi televisi memang sudah jadi hantu elektronik ya. Setiap hari layar
kaca menjejali penonton dengan berita buruk rupa. Kemarin ada berita
pembunuhan berantai dengan cara mutilasi. Kemarinnya lagi polisi dan
tentara baku tembak dalam diskotik, masalahnya hanya karena perebutan
wilayah kekuasaan. Kemarinnya lagi cuci otak dan terorisme, hanya karena
fanatisme dan idealisme yang berlebihan. Kemarinnya lagi tawuran antar
dua kampung, masalahnya cuma saling ejek. Haah begitulah. Dan berita
yang sama terus. Kalau ada berita kebakaran pasti "diduga karena konslet
hubungan arus pendek" dan "kerugian ditaksir sekian juta". Berita
tentang ricuh konser, pasti "hanya karena bersenggolan". Dan wajah hukum
kita, yang selalu setelah vonis dibacakan pasti " putusan tersebut
lebih ringan dari tuntutan jaksa" dan "terdakwa akan mengajukan banding
atas putusan tersebut". Begitulah. Belum lagi kalau malam, sinetron,
talkshow, kuis-kuis yang membuat orang bersorak-sorak disajikan. Kupikir
sudah saatnya dibuat peringatan baru bahwa selain merokok, menonton
televisi pun bisa menyebabkan serangan jantung dan sesak napas.
**
Pagi
pun perlahan berganti menjadi siang, suasana mulai menghangat. Tetapi
hati ini belum juga kurasakan menghangat. Tetap terbesit penyesalan
akan hari kemarin. Memang kita tidak akan tahu betapa berharganya apa
yang kita miliki sebelum kehilangannya. Dan semua bilang
"sabar","hadapi dengan senyuman" atau "tetap semangat." Terlampau
sering aku mendengarnya. Sabar, semangat, senyum itu wujud aslinya
tindakan. Jadi tak perlu diulang-ulang dikatakan. Hadapi dengan
penyesalan pun terkadang perlu. Belajar dari penyesalan. Menyesal itu
diucapkan. Jangan disimpan di hati, nanti akan mengendap. Luapkan dan
jernihkan hati.
Begitulah diri, sering terlibat kontradiksi di hati, adu argumen hati dan pikiran.
Siang
yang hangat pun tak berlangsung lama. Hujan turun menyapa. "kenapa
kamu datang di saat seperti ini?" Hari ini aku ada acara penting. Aku
akan bertemu gadis yang kusuka. Menunggunya. Hujan pun hanya mampir
sesaat, lalu ia pergi entah kemana. Sungguh aku berterima kasih, Dia
mau pengertian.
Tetapi menjelang sore, hujan singgah kembali. Aku
menatapnya tajam dari balik jendela kaca. Tiba-tiba hujan membuka
pintu rumahku. Ia tidak masuk. Ia hanya berdiri di depan pintu.
Kuhampiri ia perlahan. Kuulurkan tanganku keluar. Dan kurasakan ia
menggenggam tanganku. "Manusia tidak menarik karena bisa menghitung
waktu" katanya.
Aku memandangnya. Wajahnya bersih, ramputnya seperti rajutan air yang sangat rapi.
"Aku
tahu waktu tidak pernah bisa menyentuh dirimu." kataku. "kamu tidak
pernah tua. Kamu selalu baru. Kamu tidak mengenal tumbuh dewasa, tua,
sakit, dan mati. Kamu tidak pernah merasa sakit hati, terluka atau
kesepian." Hujan hanya diam saja. Dan ia mulai membelah dirinya, menjadi
semakin banyak. Lebih erat menggenggam tanganku. "ini hari yang
istimewa untukmu dan juga untukku sendiri." katanya.
"aku datang 4
mil untuk datang menemuimu sore ini. Aku berlari menuruni lembah.
Menerjang hutan bambu dan mematahkan sebuah jembatan di sebuah sungai
yang airnya deras dan berbatu." Aku terdiam sejenak lalu berkata "kita
saling berpapasan, tapi tidak pernah saling mengenali."
Hujan
menyahut, " itu karena kamu tak pernah menganggapku, kenapa kamu
terkunci dalam bahasa seperti itu. Seakan-akan kamu percaya ada yang
tidak bisa saling menyentuh, ada yang tidak bisa saling mengenal di
dunia ini?" tanyanya. "kita tidak pernah saling mengenali karena kamu
punya kepercayaan seperti itu. Kepercayaan yang sia-sia." lanjutnya.
Dalam
hati aku takjub pada hujan. Hujan dengan susah payah merembes ke dalam
batu kapur, lalu mengucur kembali lewat batu-batu kerikil. Aku kagum
melihat hujan membuat arsitektur air. Ia yang telah membuat ruang
menari. Ia yang telah memberi bentuk mati menjadi bentuk bergerak. Ia
yang menghidupkan dan mengajak bermain kembali memori-memori lama yang
terpendam. Sebuah keindahan yang tak tergantikan dan tak siapapun bisa
memilikinya.
Hujan menatapku. Matanya seperti ratusan jarum yang
saling merajut. " bolehkah aku mendapatkan pelangimu darimu?" kataku
mereda. Ia terdiam, tahu mungkin tahu perasaanku. "setahun lalu,
diatasku ada bulan muncul. Sebenarnya, aku ingin membuatkan pelangi,
agar kamu bisa naik menapaki pelangi menemui bulan. Tapi maaf, andai
120 hari lebih cepat aku menyelesaikan pelangi itu untukmu. Andai saat
itu musimku untuk bermain diizinkanNya. Maaf juga, sebutir peluru telah
ditembakkan angin untuk menjatuhkan bulan itu. Aku tak tahu, mungkin
angin itu telah membutakan mata sang bulan. Ingin aku membersihkan
matanya untukmu."
Dengan satu hentakkan, hujan menarik seluruh
tubuhku keluar. Tidak lagi digenggam tanganku, tapi dipeluk erat
tubuhku. Hujan yang turun deras di kepalaku, membuat mataku seperti
dipenuhi tangisan yang datang dari luar diriku. "aku sedang sakit
hujan, tolong lepaskan." kataku lirih.
Hujan makinerat memelukku.
Mataku seperti berada di dunia lain, dunia tangisan dari luar. Aku tahu
mataku tidak menangis. Tidak ada air mata. Aku yakin memang tak ada
air mata. Ini bukan air mataku! Tubuhku tidak bodoh dan tidak perlu
membuktikan lagi bahwa ini hujan. Perlahan-lahan hujan mulai merembes
ke dalam tubuhku, ke dalam pikiran dan hatiku.
"Hei apa yang kamu
lakukan hujan!" kataku agak membentak. "tenang, ini memang agak sakit,
tapi aku ingin menghapus penyesalan yang ada di hatimu. Akan
kucairkan."
Seolah-olah waktu berhenti saat itu. Tubuhku mulai
banjir. Aku merasakan seperti ada tanggul yang akan jebol dalam tubuhku
karena banjir yang besar itu. Tubuhku tiba-tiba meledak. Seperti
rajutan karet yang meledak. Seluruh perasaan yang tumpah ruah jadi
satu. Aku pun terdiam, berkacakan hujan. "ah, duniamu tetap terkunci
dalam bahasa." katanya. "jangan bersembunyi di balik bahasamu,
kata-kata, lalu kalimat, lalu titik atau koma." Sesaat aku merenung.
"tidak hujan, aku tidak bersembunyi, aku belajar bahasa diam agar bisa
memahaminya. Hei, hujan, kamu hebat, bisa menyatukan langit dan bumi
yang tak akan pernah bisa bersatu. Dapatkah kamu menyatukan dua perasaan
manusia?" tanyaku. "Tidak bisa! Peranku bukan untuk itu. Kau
berusahalah menemukan benang itu. Kalian terhubung, jangan sampai benang
tipis itu patah.. Ayo bergegas, temui dirinya." kata-kata hujan
membuatku tersentak. Kini aku pun memeluknya erat. "ya, akan rajut
kembali benangku itu, benang kuat yang tak terpatahkan. Terima kasih
hujan. Aku pergi..!"
30 April 2011
From N to L