Latest Post

DI UJUNG BULAN BERSAMA SEORANG HUJAN

| Kamis, 17 Mei 2012
Baca selengkapnya »


Pagi itu, kubuka mata sayuku dari perjalanan semu di dunia mimpi. Masih terngiang tak percaya pada badai yang terjadi kemarin. Jika punya kuasa melipat jarak dan waktu, aku ingin sejenak datang menemuimu setahun lalu. "aku menemukanmu dulu" dan yakinlah bahwa sebutir peluru takkan mampu membuat bulan jatuh.
Aku berjalan menyusuri rumahku sendiri, suasana pagi yang masih tetap sama dari rentan waktu ke waktu. Masa kecilku pun, mungkin aku berlarian di lorong tua ini ya. Hah, entahlah. Memori masa itu pun mulai memudar dari otakku. Otak yang makin lama terpenuhi memori-memori baru. Makin sulit aku menata, memilih dan memilah, menempatkan mereka di otakku.
Ternyata demamku kemarin belum sembuh benar, hingga ku bernostalgia seperti itu. Tak seperti biasanya.
Aku melewati ruang tengah dan kuliat televisi sudah bangun mendahuluiku. Pagi benar ia bangun, kira-kira siapa ya yang membangunkannya. Pikirku. Tapi televisi memang sudah jadi hantu elektronik ya. Setiap hari layar kaca menjejali penonton dengan berita buruk rupa. Kemarin ada berita pembunuhan berantai dengan cara mutilasi. Kemarinnya lagi polisi dan tentara baku tembak dalam diskotik, masalahnya hanya karena perebutan wilayah kekuasaan. Kemarinnya lagi cuci otak dan terorisme, hanya karena fanatisme dan idealisme yang berlebihan. Kemarinnya lagi tawuran antar dua kampung, masalahnya cuma saling ejek. Haah begitulah. Dan berita yang sama terus. Kalau ada berita kebakaran pasti "diduga karena konslet hubungan arus pendek" dan "kerugian ditaksir sekian juta". Berita tentang ricuh konser, pasti "hanya karena bersenggolan". Dan wajah hukum kita, yang selalu setelah vonis dibacakan pasti " putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa" dan "terdakwa akan mengajukan banding atas putusan tersebut". Begitulah. Belum lagi kalau malam, sinetron, talkshow, kuis-kuis yang membuat orang bersorak-sorak disajikan. Kupikir sudah saatnya dibuat peringatan baru bahwa selain merokok, menonton televisi pun bisa menyebabkan serangan jantung dan sesak napas.
**
Pagi pun perlahan berganti menjadi siang, suasana mulai menghangat. Tetapi hati ini belum juga kurasakan menghangat. Tetap terbesit penyesalan akan hari kemarin. Memang kita tidak akan tahu betapa berharganya apa yang kita miliki sebelum kehilangannya. Dan semua bilang "sabar","hadapi dengan senyuman" atau "tetap semangat." Terlampau sering aku mendengarnya. Sabar, semangat, senyum itu wujud aslinya tindakan. Jadi tak perlu diulang-ulang dikatakan. Hadapi dengan penyesalan pun terkadang perlu. Belajar dari penyesalan. Menyesal itu diucapkan. Jangan disimpan di hati, nanti akan mengendap. Luapkan dan jernihkan hati.
Begitulah diri, sering terlibat kontradiksi di hati, adu argumen hati dan pikiran.
Siang yang hangat pun tak berlangsung lama. Hujan turun menyapa. "kenapa kamu datang di saat seperti ini?" Hari ini aku ada acara penting. Aku akan bertemu gadis yang kusuka. Menunggunya. Hujan pun hanya mampir sesaat, lalu ia pergi entah kemana. Sungguh aku berterima kasih, Dia mau pengertian.
Tetapi menjelang sore, hujan singgah kembali. Aku menatapnya tajam dari balik jendela kaca. Tiba-tiba hujan membuka pintu rumahku. Ia tidak masuk. Ia hanya berdiri di depan pintu. Kuhampiri ia perlahan. Kuulurkan tanganku keluar. Dan kurasakan ia menggenggam tanganku. "Manusia tidak menarik karena bisa menghitung waktu" katanya.
Aku memandangnya. Wajahnya bersih, ramputnya seperti rajutan air yang sangat rapi.
"Aku tahu waktu tidak pernah bisa menyentuh dirimu." kataku. "kamu tidak pernah tua. Kamu selalu baru. Kamu tidak mengenal tumbuh dewasa, tua, sakit, dan mati. Kamu tidak pernah merasa sakit hati, terluka atau kesepian." Hujan hanya diam saja. Dan ia mulai membelah dirinya, menjadi semakin banyak. Lebih erat menggenggam tanganku. "ini hari yang istimewa untukmu dan juga untukku sendiri." katanya.
"aku datang 4 mil untuk datang menemuimu sore ini. Aku berlari menuruni lembah. Menerjang hutan bambu dan mematahkan sebuah jembatan di sebuah sungai yang airnya deras dan berbatu." Aku terdiam sejenak lalu berkata "kita saling berpapasan, tapi tidak pernah saling mengenali."
Hujan menyahut, " itu karena kamu tak pernah menganggapku, kenapa kamu terkunci dalam bahasa seperti itu. Seakan-akan kamu percaya ada yang tidak bisa saling menyentuh, ada yang tidak bisa saling mengenal di dunia ini?" tanyanya. "kita tidak pernah saling mengenali karena kamu punya kepercayaan seperti itu. Kepercayaan yang sia-sia." lanjutnya.
Dalam hati aku takjub pada hujan. Hujan dengan susah payah merembes ke dalam batu kapur, lalu mengucur kembali lewat batu-batu kerikil. Aku kagum melihat hujan membuat arsitektur air. Ia yang telah membuat ruang menari. Ia yang telah memberi bentuk mati menjadi bentuk bergerak. Ia yang menghidupkan dan mengajak bermain kembali memori-memori lama yang terpendam. Sebuah keindahan yang tak tergantikan dan tak siapapun bisa memilikinya.
Hujan menatapku. Matanya seperti ratusan jarum yang saling merajut. " bolehkah aku mendapatkan pelangimu darimu?" kataku mereda. Ia terdiam, tahu mungkin tahu perasaanku. "setahun lalu, diatasku ada bulan muncul. Sebenarnya, aku ingin membuatkan pelangi, agar kamu bisa naik menapaki pelangi menemui bulan. Tapi maaf, andai 120 hari lebih cepat aku menyelesaikan pelangi itu untukmu. Andai saat itu musimku untuk bermain diizinkanNya. Maaf juga, sebutir peluru telah ditembakkan angin untuk menjatuhkan bulan itu. Aku tak tahu, mungkin angin itu telah membutakan mata sang bulan. Ingin aku membersihkan matanya untukmu."
Dengan satu hentakkan, hujan menarik seluruh tubuhku keluar. Tidak lagi digenggam tanganku, tapi dipeluk erat tubuhku. Hujan yang turun deras di kepalaku, membuat mataku seperti dipenuhi tangisan yang datang dari luar diriku. "aku sedang sakit hujan, tolong lepaskan." kataku lirih.
Hujan makinerat memelukku. Mataku seperti berada di dunia lain, dunia tangisan dari luar. Aku tahu mataku tidak menangis. Tidak ada air mata. Aku yakin memang tak ada air mata. Ini bukan air mataku! Tubuhku tidak bodoh dan tidak perlu membuktikan lagi bahwa ini hujan. Perlahan-lahan hujan mulai merembes ke dalam tubuhku, ke dalam pikiran dan hatiku.
"Hei apa yang kamu lakukan hujan!" kataku agak membentak. "tenang, ini memang agak sakit, tapi aku ingin menghapus penyesalan yang ada di hatimu. Akan kucairkan."
Seolah-olah waktu berhenti saat itu. Tubuhku mulai banjir. Aku merasakan seperti ada tanggul yang akan jebol dalam tubuhku karena banjir yang besar itu. Tubuhku tiba-tiba meledak. Seperti rajutan karet yang meledak. Seluruh perasaan yang tumpah ruah jadi satu. Aku pun terdiam, berkacakan hujan. "ah, duniamu tetap terkunci dalam bahasa." katanya. "jangan bersembunyi di balik bahasamu, kata-kata, lalu kalimat, lalu titik atau koma." Sesaat aku merenung. "tidak hujan, aku tidak bersembunyi, aku belajar bahasa diam agar bisa memahaminya. Hei, hujan, kamu hebat, bisa menyatukan langit dan bumi yang tak akan pernah bisa bersatu. Dapatkah kamu menyatukan dua perasaan manusia?" tanyaku. "Tidak bisa! Peranku bukan untuk itu. Kau berusahalah menemukan benang itu. Kalian terhubung, jangan sampai benang tipis itu patah.. Ayo bergegas, temui dirinya." kata-kata hujan membuatku tersentak. Kini aku pun memeluknya erat. "ya, akan rajut kembali benangku itu, benang kuat yang tak terpatahkan. Terima kasih hujan. Aku pergi..!"


30 April 2011


From N to L

DI UJUNG BULAN BERSAMA SEORANG HUJAN

Posted by : Norvan Isdwiyanto on :Kamis, 17 Mei 2012 With 0komentar
Next Prev
▲Top▲